9.7.12

Mengapa Orang Utan Penting

Beberapa waktu lalu, lewat editorial Orangutan Bukan Musuh Kelapa Sawit, kami meminta para pembaca Yahoo! Indonesia untuk memberikan pendapatnya dalam isu pemusnahan orangutan yang kini sering terjadi di Kalimantan Timur.

Setidaknya, temuan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur dan Centre for Orangutan Protection (COP) yang mengevakuasi jasad-jasad orangutan dalam kondisi mengenaskan. Selain itu, mereka mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir, ada 2400-12 ribu ekor orangutan yang mati. Penyebab utamanya adalah karena mereka dianggap sebagai hama buat perkebunan kelapa sawit.

Maka orangutan pun dibasmi seperti saat menangani hama, menggunakan racun. Para petugas perkebunan kelapa sawit menyebar pisang yang sudah disemprot racun untuk membunuh orangutan. Karena berita tersebut, muncullah gerakan petisi meminta pemerintah RI mengambil langkah serius untuk menyelamatkan orangutan.

Tapi apa sebenarnya yang membuat penyelamatan orangutan menjadi penting?

Karena, menurut kami, orangutan adalah sebuah lambang awal. Orangutan adalah ikon paling jelas, gamblang, serta paling menggemaskan, yang mampu menggerakkan seseorang untuk menyadari kerusakan hutan dan kemudian berupaya menyelamatkannya.

Ketika kami tanyakan, apa kira-kira yang menjadi akar masalahnya di sini, pembaca kami, Muhammad Lukman berkomentar, "Investor kelapa sawit makin banyak di Indonesia. Pembukaan lahan hutan semakin marak, menjadi salah satu faktor hilangnya habitat orangutan."

Pemusnahan orangutan secara 'terorganisir' atau makin seringnya terjadi konflik-konflik antara satwa dan (permukiman) manusia di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa ada perubahan besar dalam tataguna lahan di Indonesia. Kawasan yang awalnya, secara alamiah, adalah hutan dan habitat bagi berbagai jenis satwa serta tumbuhan, kini dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Insiden pembunuhan orangutan bisa menjadi indikasi awal bahwa ada yang tidak beres dalam pembagian hak pengelolaan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Peneliti utama dan kepala penasihat peneliti World Agroforestry Centre Meine van Noordwijk pernah menyatakan bahwa ada banyak lahan yang diberikan untuk konsesi perusahaan kelapa sawit. Bahwa perusahaan-perusahaan ini mendapat blok-blok yang luas, antara 10 ribu-20 ribu hektar. Lalu mereka akan menjual kayu yang terdapat di blok-blok yang mereka dapat ke perusahaan pulp dan kertas.

Padahal, menurut Meine lagi, "Pemerintah memberikan hak-hak konsesi tersebut ke perusahaan besar, sementara pemerintah sebenarnya tidak berhak memberi izin konsesi tersebut karena belum ada kejelasan status atau hak kepemilikan lahan. Keberadaan masyarakat adat di lokasi-lokasi tersebut tidak diakui."

Pemerintah Indonesia, lewat Kementerian Kehutanan, seringnya hanya melihat hutan sebagai kumpulan pohon-pohon raksasa yang kemudian bisa dieksploitasi sebagai bagian dari industri untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. Padahal, dan ini yang tak pernah dilihat oleh pemerintah, hutan adalah sebuah sistem kehidupan.

Ada manusia (atau kelompok masyarakat adat yang tinggal di hutan dan mencari penghidupan di situ), berbagai jenis satwa, serta vegetasi khusus bernilai tinggi dengan usia ratusan tahun.

Pembaca kami Safitri juga mengajukan komentar yang sama, "Mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan habitat satwa asli Indonesia bukan hal yang bijak. Perluasan kebun sawit telah merusak ribuan hektar hutan tropis di Indonesia. Banjir, longsor, hewan berkurang habitatnya, bahkan terancam punah, sekarang menjadi hal biasa terjadi."

Penelitian 'Kasus ekonomi untuk reformasi pengelolaan lahan hutan Indonesia' (An economic case for tenure reform in Indonesia's forests) dari Dominic Elson dari Trevaylor Consulting yang terbit Juli 2011 juga menyoroti perluasan lahan kelapa sawit. Ia memperkirakan, pada 2030 nanti, akan ada 28 juta hektar lahan hutan lagi yang digunduli demi perkebunan kelapa sawit. Elson mengkhawatirkan bahwa nantinya Indonesia hanya akan memiliki sangat sedikit hutan primer.

Jika pemerintah daerah tampak tenang saja menghadapi laporan-laporan konflik manusia dan satwa yang semakin meningkat intensitas dan kuantitasnya, mungkin karena ada hubungannya antara izin pengelolaan hutan dengan siklus pemilihan kepala daerah.

Dalam penelitiannya, Elson juga menyoroti bahwa sejak desentralisasi terjadi, para bupati ternyata tidak diwajibkan untuk mempertimbangkan efek perubahan lahan pada komunitas di sekitarnya. Bahwa penerbitan izin pembersihan hutan akan meningkat bersamaan dengan terjadinya pemilihan kepala daerah. Dan izin pengelolaan hutan adalah cara para calon kepala daerah (atau kepala daerah terpilih) untuk membayar kembali para sponsor kampanye politik mereka.

Yang diperlukan sekarang adalah perubahan sudut pandang dari pemerintah (daerah). Bahwa hutan tersedia bukan untuk modal politik. Dan jika keadaan yang sama terus berlanjut, maka pembunuhan orangutan --seberapa kejamnya situasi itu-- barulah awal dari besarnya skala bencana ekologis yang akan terjadi pada kita di masa depan. Itulah sebabnya orangutan menjadi penting. 

No comments:

Post a Comment