NEW YORK - Komisioner Tertinggi Dewan HAM
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Navy Pillay mendesak digelarnya proses
penyelidikan atas pelanggaran HAM di Arakan, Myanmar. Penyelidikan itu
juga harus dilakukan dengan cara independen.
"Kami menerima laporan-laporan dari beberapa sumber mengenai adanya peristiwa diskriminasi dari aparat keamanan Myanmar. Mereka terlibat dalam aksi bentrokan itu," ujar Pillay, seperti dikutip Mizzima, Jumat (27/7/2012).
"Laporan itu mengindikasikan bahwa bentrokan antar-warga Muslim dan Budha, berubah menjadi tindakan keras yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga Muslim, termasuk di antaranya warga Rohingya," tambahnya.
Sementara itu, salah seorang pakar HAM di PBB Tomas Quintana juga berniat untuk mengunjungi Myanmar. Quintana pun siap berkunjung ke Negara Bagian Arakan, selama satu hari.
Kekerasan yang terjadi di Negara Bagian Arakan, Myanmar, sudah menewaskan sekira 80 orang. Namun ribuan warga Muslim Rohingya juga melarikan diri dari wilayah itu. Pembantaian pun terjadi setelah kekerasan berlangsung.
"Pemerintah Myanmar memiliki tanggung jawab untuk menghentikan dan menghukum pelaku tindak kejahatan itu, berdasarkan aturan hukum yang berlaku," tambahnya.
Pillay juga cukup terganggu dengan bahasa-bahasa media Pemerintah Myanmar dalam menyebut warga Muslim Rohingya. Pillay turut mendesak para petinggi di Myanmar untuk membahas isu diskriminasi tehradap warga minoritas dan menjamin hak-hak warganya.
Pada awal pekan ini, 58 LSM mengecam peristiwa pembantaian di wilayah Arakan. Kelompok koalisi yang dibentuk oleh Refugees International, the Arakan Project, dan Equal Rights Trust, melayangkan surat rekomendasi untuk Pemerintah Myanmar. Mereka juga mengecam Bangladesh, karena negara tersebut melarang warga Rohingya masuk ke wilayahnya.(AUL)
"Kami menerima laporan-laporan dari beberapa sumber mengenai adanya peristiwa diskriminasi dari aparat keamanan Myanmar. Mereka terlibat dalam aksi bentrokan itu," ujar Pillay, seperti dikutip Mizzima, Jumat (27/7/2012).
"Laporan itu mengindikasikan bahwa bentrokan antar-warga Muslim dan Budha, berubah menjadi tindakan keras yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga Muslim, termasuk di antaranya warga Rohingya," tambahnya.
Sementara itu, salah seorang pakar HAM di PBB Tomas Quintana juga berniat untuk mengunjungi Myanmar. Quintana pun siap berkunjung ke Negara Bagian Arakan, selama satu hari.
Kekerasan yang terjadi di Negara Bagian Arakan, Myanmar, sudah menewaskan sekira 80 orang. Namun ribuan warga Muslim Rohingya juga melarikan diri dari wilayah itu. Pembantaian pun terjadi setelah kekerasan berlangsung.
"Pemerintah Myanmar memiliki tanggung jawab untuk menghentikan dan menghukum pelaku tindak kejahatan itu, berdasarkan aturan hukum yang berlaku," tambahnya.
Pillay juga cukup terganggu dengan bahasa-bahasa media Pemerintah Myanmar dalam menyebut warga Muslim Rohingya. Pillay turut mendesak para petinggi di Myanmar untuk membahas isu diskriminasi tehradap warga minoritas dan menjamin hak-hak warganya.
Pada awal pekan ini, 58 LSM mengecam peristiwa pembantaian di wilayah Arakan. Kelompok koalisi yang dibentuk oleh Refugees International, the Arakan Project, dan Equal Rights Trust, melayangkan surat rekomendasi untuk Pemerintah Myanmar. Mereka juga mengecam Bangladesh, karena negara tersebut melarang warga Rohingya masuk ke wilayahnya.(AUL)
No comments:
Post a Comment