Mentari masih bertengger menghias langit biru di Korea
Selatan. Sinarnya lantang menembus cakrawala. Gumpalan awan pun tampak
tenang dan menjadi latar yang elok siang itu. Tak ada kejaran awan.
Langit tampak tenang, cerah dan bening. Mentari tak tanggung-tanggung
menyinari negri ini dengan panas nya yang mencapai 35 derajat celcius.
Tak beda jauh dengan kondisi Jakarta atau salah satu kota panas lainnya,
Medan.
"What? 35°C, real feel® 43°C, humidity 81%" mata saya membelalak seketika saat mendapati rangkaian kata dan angka yang memenuhi layar telepon selular saya. Subhanallah, panasnya luar biasa, ditambah dengan tingkat kelembaban yang hampir mencapai 100%. Tak ubahnya sedang berada di balik kuali yang tengah ditelungkupkan. Panas, pengap dan tak ada angin yang berhembus.
Korea yang dikenal dengan para K-Pop'ers dan drama nya ini memang cukup lembab. Suhu yang cukup tinggi dengan tingkat kelembaban yang juga tak kalah tinggi membuat musim panas di Korea sempurna. Sempurna membakar kulit dan membuat tenggorokan mengering.
Dari dalam sepetak ruangan di pinggiran Gyeongsang National University, saya masih menerawang rangkaian angka yang tadi saya lihat lewat telepon selular. Duduk mencangkung dengan kepala yang terus menoleh ke luar dan ke depan lemari yang sedari tadi terbuka di hadapan saya. Rengekan kipas angin tua yang saya beli dari tempat barang loak masih setia berputar tanpa lelah dan membagi angin yang coba hentikan peluh yang bercucuran. "Harus pintar-pintar memilih baju" celoteh saya dalam hati.
Tak seperti umumnya warga setempat yang dapat bernegosiasi dengan cuaca yang berlaku. Bercelana sependek-pendeknya dengan baju setipis-tipisnya hingga dapat melukiskan dengan jelas pakaian dalam yang dikenakan. Sebagai seorang wanita yang mengaku muslim, saya harus cerdik dalam berpakaian. Tetap menutup aurat namun juga nggak kepanasan.
Berbalut celana jeans hitam, baju kaus ungu dan selembar kerudung berwarna senada membalut kepala, bismillah, saya keluar rumah dan menyatu dengan sengatan mentari yang kian menjadi. Kedua mata saya setengah memicing, berusaha melindungi retina dari sengat mentari yang semakin lugas. Berjalan menunduk, menyusuri pelataran kampus menuju satu departemen di sisi belakang kampus. Ya, Aerospace and Mechanical Engineering Department.
Belum lagi langkah ini mencapai seperempat kampus, rembesan keringat sudah menghias di permukaan baju kaus yang saya kenakan. Bulir-bulir keringat mulai menghias dahi, dagu dan hidung. Beberapa mahasiswa yang lewat tampak tak peduli dengan sengat mentari yang memanggang Negri yang terkenal dengan kimchi nya ini. Beberapa mereka hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong dan hanya mengenakan sandal. Bagi mereka mengenakan sandal ke kampus saat musim panas itu wajar.
"Agashii, i go moheyo? anthowo?" tanya seorang ibu cleaning service yang tengah beristirahat di bawah sebuah pohon sembari tangannya menunjuk ke arah kerudung yang saya pakai. Ia menanyakan "Hai gadis, itu apaan yang loe pake? nggak panas?" kira-kira begitulah kalau diterjemahkan dalam bahasa gaul Ibu kota.
"Aaaah, i goneun, hejab iyeyo. Aniyo, anthowoyo Ajuma nim" jawab saya sebisa mungkin dengan bahasa yang masih terbata-bata. "Oooo ini kerudung Bu, nggak kok, nggak panas" jawab saya singkat. Ia tak henti-hentinya menatap saya dalam-dalam. "Ni anak sakit jiwa kali ya, katanya nggak panas, tapi bajunya aja basah penuh keringat, belum lagi keringat yang memenuhi sebagian wajah nya" mungkin ini yang ada dalam pikiran nya.
Ia coba menjelaskan lagi dalam bahasa yang mungkin jika diartikan "sekarang ini kan lagi musim panas, ngapain pake baju panjang-panjang? panas banget" sembari tangan nya kali ini sudah menyentuh kerudung dan baju kaus yang saya kenakan. "Nih, minum ini biar nggak panas" lanjutnya lagi sembari menyodorkan dua botol minuman dingin semacam yakult.
"Pasti rasanya seger banget. Mengalir dingin membasahi kerongkongan yang mengering sejak pagi tadi" ucap saya dalam hati. "Aaaaa, gwencanayo ajuma nim. Chonen geumsik i yeyo" yang artinya kurang lebih "Aaaah, gapapa Bu ga usah, saya lagi puasa".
"Geumsik? chincha? Aigoo, ne, hakyoe kayo?aaaah ok gwencana" jawabnya dengan nada melemah dan raut wajah yang masih dipenuhi tanda tanya melihat ke arah saya yang sejak tadi sibuk mengelap bulir-bulir keringat yang mulai menetes ke pipi. "Hah, puasa? Masa sih? ya ampuuun, oke lah, ni sekarang mau pergi ke kampus? oke, gapapa" begitulah kalau diterjemahkan dalam bahasa paling gaul Indonesia.
Ya, puasa. Saya tengah berpuasa. Kebetulan Ramadhan hadir di tengah-tengah musim panas. Dimana siang akan lebih lama dari malam. Waktu imsak pun nggak tanggung-tanggung kurang dari pukul empat pagi waktu Korea selatan, atau sekitar kurang dari pukul dua malam waktu Indonesia barat.
Sementara waktu berbuka puasa hampir menunjukan pukul delapan malam atau pukul enam sore waktu Indonesia barat. Cukup lama memang. Harum kasturi yang memenuhi rongga mulut pun sudah semakin dahsyat. Semakin lama waktu berpuasa, semakin harum. Hanya ada satu penyemangat, bahwa harum ini kelak akan mengantarkan kita ke syurga-Nya. So, it wasn’t about kasturi, but I have to break my fast after around 16 hours, “mama, aku kurus” mungkin hanya kata-kata itu yang selalu melintas ketika menelepon ke Indonesia.
Negara ini bukan negara islam atau bahkan mengenal islam, so’ jangan harap bulan puasa toko-toko makanan bakal di tutup tirai-tirai atau ditutupi spanduk-spanduk bekas bak warung-warung kopi pinggir jalan. Semuanya bakal buka-bukaan, blak-blakan.
Berharap warga Korea Selatan akan memberikan excuse atau toleransi pada kita yang berpuasa? Jangan berharap terlalu tinggi. Teman-teman pekerja pun tetap bekerja seperti biasa. Tak beda dengan mahasiswa yang juga terus harus hadir dan stay di lab melakukan experiment terhadap research nya masing-masing. Bersyukurlah kalau memiliki profesor yang sedikit mengerti tentang Islam. Mereka akan mengerti saat kita tidak memakan babi, tidak ikut minum-minum yang merupakan budaya kental mereka, dan harus sembahyang lima kali sehari dan juga berpuasa.
Beberapa dari profesor yang pengetahuannya akan Islam masih di tingkat abal-abal, tidak akan mengerti dengan puasa, apalagi shalat lima waktu yang mereka anggap hanya membuang-buang waktu saja sampai lima kali.
Sekolah atau tinggal di luar yang jauh dari peradaban Indonesia dan jauh dari ibunda tercinta, bikin kita harus hidup sendiri, nggak manja dan nggak tergantung sama orang lain. Jangan harap bakal ada sirine berbunyi, atau kentungan disertai suara orang berteriak sauuuur..sauuuur, “gakkan pernah ada!!!”.
Kalau rindu dengan masakan Indonesia, tenang saja. Allah itu Maha adil. Rasa rindu itu akan terbalas seminggu sekali, dimana lagi kalau bukan di KBRI. KBRI mengadakan buka puasa bersama setiap hari sabtu, siapa saja boleh datang, dan menyantap menu-menu Indonesia kumplit, mulai dari teh poci, kolak/bubur, tahu isi, risol, pastel, ubi goreng, cendol, es buah, ager dan menu-menu lainnya. Ini ajang perbaikan gizi bagi para mahasiswa yang biasanya nggak hanya datang membawa diri dalam keadaan lapar, tapi juga membawa plastik untuk membungkus makanan agar tak terancam hanya sahur dengan sepotong roti atau mie instan.
Kadang banyak juga mahasiswa Indonesia yang datang membawa teman-teman foreigner nya, sekalian memperkenalkan kuliner Indonesia kepada teman-teman asing. Sayangnya KBRI hanya ada di Seoul (utara Korea) so mereka yang berada di luar Seoul jarang mendapat perbaikan gizi selain berkumpul dengan teman-teman lainya di mssjid kota terdekat.
Jarangnya masjid di Korea juga membuat tarawih agak sulit, paling berjamaah bersama teman-teman, atau tarawih di kampus dengan teman-teman muslim dari negara lain, atau tak ada pilihan lain selain tarawih sendiri. Kalau di salah satu mesjid Seoul tepatnya di Itaewon, setiap bulan ramadhan, mereka akan menyediakan buka puasa gratis setiap hari dengan makanan ala timur tengah. Korean Muslim Federation atau KMF sang pengelola masjid juga akan mengundang imam dari Syria, Arab atau negara-negara Timur Tengah lainnya untuk menjadi imam tarawih selama satu bulan penuh. Rata-rata tarawih hanya 11 rakaat, dengan bacaan yang cukup panjang karena ditargetkan berkhattam selama Ramadhan.
Biasanya, di jum'at terakhir di bulan Ramadhan, KMF (Korean Muslim Federation) akan mengadakan sayembara MTQ di masjid utama Seoul. Sayembara yang diikuti oleh siapapun dan dari negara manapun. Perlombaan akan di pecah dalam 2 grup besar “pria” dan “wanita” selebihnya ada grup anak-anak kecil. Indonesia harus bangga karena beberapa dekade terus memegang peringkat pertama untuk MTQ putri sampai-sampai sang qari’ah tak lagi diperbolehkan mengikuti lomba lagi karena selalu menang. Pesertanya mancanegara, semua membaca ayat yang telah mereka pilih masing-masing dengan pelafalan yang juga berbeda dan intonasi serta irama yang berbeda.
Waktu berbuka adalah waktu yang dinantikan saat ramadhan menyapa di musim panas. Semuanya tetap berjalan lancar, semuanya akan membuat kita semakin kuat dan semuanya tetap indah. Mentari tak lagi memancarkan sinarnya, kegagahan nya telah tergantikan dengan bulan yang menggantung anggun menghias langit di Korea Selatan, saat nya berbuka bagi warga di Korea Selatan.
"What? 35°C, real feel® 43°C, humidity 81%" mata saya membelalak seketika saat mendapati rangkaian kata dan angka yang memenuhi layar telepon selular saya. Subhanallah, panasnya luar biasa, ditambah dengan tingkat kelembaban yang hampir mencapai 100%. Tak ubahnya sedang berada di balik kuali yang tengah ditelungkupkan. Panas, pengap dan tak ada angin yang berhembus.
Korea yang dikenal dengan para K-Pop'ers dan drama nya ini memang cukup lembab. Suhu yang cukup tinggi dengan tingkat kelembaban yang juga tak kalah tinggi membuat musim panas di Korea sempurna. Sempurna membakar kulit dan membuat tenggorokan mengering.
Dari dalam sepetak ruangan di pinggiran Gyeongsang National University, saya masih menerawang rangkaian angka yang tadi saya lihat lewat telepon selular. Duduk mencangkung dengan kepala yang terus menoleh ke luar dan ke depan lemari yang sedari tadi terbuka di hadapan saya. Rengekan kipas angin tua yang saya beli dari tempat barang loak masih setia berputar tanpa lelah dan membagi angin yang coba hentikan peluh yang bercucuran. "Harus pintar-pintar memilih baju" celoteh saya dalam hati.
Tak seperti umumnya warga setempat yang dapat bernegosiasi dengan cuaca yang berlaku. Bercelana sependek-pendeknya dengan baju setipis-tipisnya hingga dapat melukiskan dengan jelas pakaian dalam yang dikenakan. Sebagai seorang wanita yang mengaku muslim, saya harus cerdik dalam berpakaian. Tetap menutup aurat namun juga nggak kepanasan.
Berbalut celana jeans hitam, baju kaus ungu dan selembar kerudung berwarna senada membalut kepala, bismillah, saya keluar rumah dan menyatu dengan sengatan mentari yang kian menjadi. Kedua mata saya setengah memicing, berusaha melindungi retina dari sengat mentari yang semakin lugas. Berjalan menunduk, menyusuri pelataran kampus menuju satu departemen di sisi belakang kampus. Ya, Aerospace and Mechanical Engineering Department.
Belum lagi langkah ini mencapai seperempat kampus, rembesan keringat sudah menghias di permukaan baju kaus yang saya kenakan. Bulir-bulir keringat mulai menghias dahi, dagu dan hidung. Beberapa mahasiswa yang lewat tampak tak peduli dengan sengat mentari yang memanggang Negri yang terkenal dengan kimchi nya ini. Beberapa mereka hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong dan hanya mengenakan sandal. Bagi mereka mengenakan sandal ke kampus saat musim panas itu wajar.
"Agashii, i go moheyo? anthowo?" tanya seorang ibu cleaning service yang tengah beristirahat di bawah sebuah pohon sembari tangannya menunjuk ke arah kerudung yang saya pakai. Ia menanyakan "Hai gadis, itu apaan yang loe pake? nggak panas?" kira-kira begitulah kalau diterjemahkan dalam bahasa gaul Ibu kota.
"Aaaah, i goneun, hejab iyeyo. Aniyo, anthowoyo Ajuma nim" jawab saya sebisa mungkin dengan bahasa yang masih terbata-bata. "Oooo ini kerudung Bu, nggak kok, nggak panas" jawab saya singkat. Ia tak henti-hentinya menatap saya dalam-dalam. "Ni anak sakit jiwa kali ya, katanya nggak panas, tapi bajunya aja basah penuh keringat, belum lagi keringat yang memenuhi sebagian wajah nya" mungkin ini yang ada dalam pikiran nya.
Ia coba menjelaskan lagi dalam bahasa yang mungkin jika diartikan "sekarang ini kan lagi musim panas, ngapain pake baju panjang-panjang? panas banget" sembari tangan nya kali ini sudah menyentuh kerudung dan baju kaus yang saya kenakan. "Nih, minum ini biar nggak panas" lanjutnya lagi sembari menyodorkan dua botol minuman dingin semacam yakult.
"Pasti rasanya seger banget. Mengalir dingin membasahi kerongkongan yang mengering sejak pagi tadi" ucap saya dalam hati. "Aaaaa, gwencanayo ajuma nim. Chonen geumsik i yeyo" yang artinya kurang lebih "Aaaah, gapapa Bu ga usah, saya lagi puasa".
"Geumsik? chincha? Aigoo, ne, hakyoe kayo?aaaah ok gwencana" jawabnya dengan nada melemah dan raut wajah yang masih dipenuhi tanda tanya melihat ke arah saya yang sejak tadi sibuk mengelap bulir-bulir keringat yang mulai menetes ke pipi. "Hah, puasa? Masa sih? ya ampuuun, oke lah, ni sekarang mau pergi ke kampus? oke, gapapa" begitulah kalau diterjemahkan dalam bahasa paling gaul Indonesia.
Ya, puasa. Saya tengah berpuasa. Kebetulan Ramadhan hadir di tengah-tengah musim panas. Dimana siang akan lebih lama dari malam. Waktu imsak pun nggak tanggung-tanggung kurang dari pukul empat pagi waktu Korea selatan, atau sekitar kurang dari pukul dua malam waktu Indonesia barat.
Sementara waktu berbuka puasa hampir menunjukan pukul delapan malam atau pukul enam sore waktu Indonesia barat. Cukup lama memang. Harum kasturi yang memenuhi rongga mulut pun sudah semakin dahsyat. Semakin lama waktu berpuasa, semakin harum. Hanya ada satu penyemangat, bahwa harum ini kelak akan mengantarkan kita ke syurga-Nya. So, it wasn’t about kasturi, but I have to break my fast after around 16 hours, “mama, aku kurus” mungkin hanya kata-kata itu yang selalu melintas ketika menelepon ke Indonesia.
Negara ini bukan negara islam atau bahkan mengenal islam, so’ jangan harap bulan puasa toko-toko makanan bakal di tutup tirai-tirai atau ditutupi spanduk-spanduk bekas bak warung-warung kopi pinggir jalan. Semuanya bakal buka-bukaan, blak-blakan.
Berharap warga Korea Selatan akan memberikan excuse atau toleransi pada kita yang berpuasa? Jangan berharap terlalu tinggi. Teman-teman pekerja pun tetap bekerja seperti biasa. Tak beda dengan mahasiswa yang juga terus harus hadir dan stay di lab melakukan experiment terhadap research nya masing-masing. Bersyukurlah kalau memiliki profesor yang sedikit mengerti tentang Islam. Mereka akan mengerti saat kita tidak memakan babi, tidak ikut minum-minum yang merupakan budaya kental mereka, dan harus sembahyang lima kali sehari dan juga berpuasa.
Beberapa dari profesor yang pengetahuannya akan Islam masih di tingkat abal-abal, tidak akan mengerti dengan puasa, apalagi shalat lima waktu yang mereka anggap hanya membuang-buang waktu saja sampai lima kali.
Sekolah atau tinggal di luar yang jauh dari peradaban Indonesia dan jauh dari ibunda tercinta, bikin kita harus hidup sendiri, nggak manja dan nggak tergantung sama orang lain. Jangan harap bakal ada sirine berbunyi, atau kentungan disertai suara orang berteriak sauuuur..sauuuur, “gakkan pernah ada!!!”.
Kalau rindu dengan masakan Indonesia, tenang saja. Allah itu Maha adil. Rasa rindu itu akan terbalas seminggu sekali, dimana lagi kalau bukan di KBRI. KBRI mengadakan buka puasa bersama setiap hari sabtu, siapa saja boleh datang, dan menyantap menu-menu Indonesia kumplit, mulai dari teh poci, kolak/bubur, tahu isi, risol, pastel, ubi goreng, cendol, es buah, ager dan menu-menu lainnya. Ini ajang perbaikan gizi bagi para mahasiswa yang biasanya nggak hanya datang membawa diri dalam keadaan lapar, tapi juga membawa plastik untuk membungkus makanan agar tak terancam hanya sahur dengan sepotong roti atau mie instan.
Kadang banyak juga mahasiswa Indonesia yang datang membawa teman-teman foreigner nya, sekalian memperkenalkan kuliner Indonesia kepada teman-teman asing. Sayangnya KBRI hanya ada di Seoul (utara Korea) so mereka yang berada di luar Seoul jarang mendapat perbaikan gizi selain berkumpul dengan teman-teman lainya di mssjid kota terdekat.
Jarangnya masjid di Korea juga membuat tarawih agak sulit, paling berjamaah bersama teman-teman, atau tarawih di kampus dengan teman-teman muslim dari negara lain, atau tak ada pilihan lain selain tarawih sendiri. Kalau di salah satu mesjid Seoul tepatnya di Itaewon, setiap bulan ramadhan, mereka akan menyediakan buka puasa gratis setiap hari dengan makanan ala timur tengah. Korean Muslim Federation atau KMF sang pengelola masjid juga akan mengundang imam dari Syria, Arab atau negara-negara Timur Tengah lainnya untuk menjadi imam tarawih selama satu bulan penuh. Rata-rata tarawih hanya 11 rakaat, dengan bacaan yang cukup panjang karena ditargetkan berkhattam selama Ramadhan.
Biasanya, di jum'at terakhir di bulan Ramadhan, KMF (Korean Muslim Federation) akan mengadakan sayembara MTQ di masjid utama Seoul. Sayembara yang diikuti oleh siapapun dan dari negara manapun. Perlombaan akan di pecah dalam 2 grup besar “pria” dan “wanita” selebihnya ada grup anak-anak kecil. Indonesia harus bangga karena beberapa dekade terus memegang peringkat pertama untuk MTQ putri sampai-sampai sang qari’ah tak lagi diperbolehkan mengikuti lomba lagi karena selalu menang. Pesertanya mancanegara, semua membaca ayat yang telah mereka pilih masing-masing dengan pelafalan yang juga berbeda dan intonasi serta irama yang berbeda.
Waktu berbuka adalah waktu yang dinantikan saat ramadhan menyapa di musim panas. Semuanya tetap berjalan lancar, semuanya akan membuat kita semakin kuat dan semuanya tetap indah. Mentari tak lagi memancarkan sinarnya, kegagahan nya telah tergantikan dengan bulan yang menggantung anggun menghias langit di Korea Selatan, saat nya berbuka bagi warga di Korea Selatan.
No comments:
Post a Comment