Pemerintah Bangladesh tetap keukeh melarang masuknya
perbantuan internasional bagi pengungsi Rohingya, di Provinsi Bazar Cox.
Padahal kondisi para pengungsi semakin mengkhawatirkan setelah larangan
diterapkan.
Relawan Kemanusian Indonesia, Aksi Cepat Tanggap (ACT), Andhika Purbo Swasono yang berada di Bazar Cox mengatakan beberapa kelompok relawan bersama Badan Pengungsi PBB (UNHCR) di Bangladesh. Mereka sudah berkordinasi dan meminta secara langsung kepada aparatur setempat untuk membantu upaya perbantuan, bagi 80 ribu pengungsi Rohingya.
Menurut dia diperketatnya perbatasan Bangladesh dan Myanmar sudah cukup menyulitkan etnis Rohingya yang hendak menyelamatkan diri dari teror pengusiran junta Myanmar. Kondisi itu saharusnya tidak diperparah dengan kebijakan Bangladesh yang melarang perbantuan kemanusian di Bazar Cox.
Setelah didiagnosa banyak yang mengalami gizi buruk, Andhika mengatakan gejala malaria, dan gangguan pencernaan mulai muncul dibeberapa kamp pengungsian. Kata dia, gejala malaria memang kentara, namun akan fatal jika bantuan medis masih dilarang masuk.
''Tim medis sangat mereka harapkan, dan yang paling dibutuhkan,'' kata dia, saat dihubungi Republika Senin (13/8). Andhika mengatakan, kondisi cuaca di Bangladesh belakangan cukup ekstrim.
Hujan setiap hari mengguyur Bazar Cox, akan tetapi panas yang terik juga menghampiri. Kondisi itu membuat kondisi fisik pengungsi sangat lemah. ''Mereka tetap berpuasa dan bermaktoub (pengajian) walau dengan kondisi yang terbatas,'' ujar Andhika.
Selain itu, pantauan Andhika kondisi pangan juga sangat mengkhawatirkan. Misal di Kamp Teknaf, ujar dia, sebagian pengungsi sangat berhemat dengan menyimpan sisa makanan mereka, sampai beberapa hari. Beberapa pria dewasa kata dia menjadi kuli panggul untuk membiaya hidup
Relawan Kemanusian Indonesia, Aksi Cepat Tanggap (ACT), Andhika Purbo Swasono yang berada di Bazar Cox mengatakan beberapa kelompok relawan bersama Badan Pengungsi PBB (UNHCR) di Bangladesh. Mereka sudah berkordinasi dan meminta secara langsung kepada aparatur setempat untuk membantu upaya perbantuan, bagi 80 ribu pengungsi Rohingya.
Menurut dia diperketatnya perbatasan Bangladesh dan Myanmar sudah cukup menyulitkan etnis Rohingya yang hendak menyelamatkan diri dari teror pengusiran junta Myanmar. Kondisi itu saharusnya tidak diperparah dengan kebijakan Bangladesh yang melarang perbantuan kemanusian di Bazar Cox.
Setelah didiagnosa banyak yang mengalami gizi buruk, Andhika mengatakan gejala malaria, dan gangguan pencernaan mulai muncul dibeberapa kamp pengungsian. Kata dia, gejala malaria memang kentara, namun akan fatal jika bantuan medis masih dilarang masuk.
''Tim medis sangat mereka harapkan, dan yang paling dibutuhkan,'' kata dia, saat dihubungi Republika Senin (13/8). Andhika mengatakan, kondisi cuaca di Bangladesh belakangan cukup ekstrim.
Hujan setiap hari mengguyur Bazar Cox, akan tetapi panas yang terik juga menghampiri. Kondisi itu membuat kondisi fisik pengungsi sangat lemah. ''Mereka tetap berpuasa dan bermaktoub (pengajian) walau dengan kondisi yang terbatas,'' ujar Andhika.
Selain itu, pantauan Andhika kondisi pangan juga sangat mengkhawatirkan. Misal di Kamp Teknaf, ujar dia, sebagian pengungsi sangat berhemat dengan menyimpan sisa makanan mereka, sampai beberapa hari. Beberapa pria dewasa kata dia menjadi kuli panggul untuk membiaya hidup
No comments:
Post a Comment