MANDALAY - Ratusan pemuka agama di Myanmar
melakukan aksi unjuk rasa mendukung kebijakan Presiden Thein Sein yang
akan mendeportasi dan menahan warga Rohingya di kamp pengungsi.
Demonstrasi itu tercatat sebagai demonstrasi terbesar yang pernah
terjadi di Myanmar setelah rezim junta militer runtuh.
Para pemuka agama yang mengenakan jubah yang berwarna merah itu berbaris dan melakukan marching di Kota Mandalay. Peristiwa itu menjadi peristiwa yang cukup mengejutkan. Demonstrasi besar itu digelar pada Minggu kemarin dan akan dilanjutkan selama dua hari di Kota Pakokku.
"Lindungi Ibu Kita, Myanmar, dengan mendukung Presiden," demikian tulisan yang terpampang dalam salah satu spanduk yang dibawa oleh pemuka agama di Myanmar. Beberapa orang demonstran juga mengkritisi utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dinilai bias dalam menyikapi warga Rohingya.
Protes itu dipimpin oleh seorang pemuka agama yang bernama Wirathu. Wirathu pun mengklaim, 5 ribu pemuka agama Budha lainnya siap bergabung dalam aksi tersebut. Sementara itu, ratusan lainnya mengawasi jalanan.
"Biarkan dunia tahu bahwa Rohingya bukanlah salah satu dari kelompok etnis Myanmar," ujar Wirathu, seperti dikutip AFP, Senin (3/9/2012).
Namun Wirathu menambahkan, warga Rohingya boleh menjadi warga negara Myanmar asalkan mereka tidak membuat kerusuhan dan menjadi warga yang baik. Pria berusia 45 tahun itu menegaskan kembali dukungannya terhadap kebijakan yang diusung Thein Sein.
Salah satu orang demonstran yang tidak mau disebut identitasnya, turut mengecam warga Rohingya. Warga Rohingya dianggap bak kelompok teroris Benggala yang sering membunuh warga pribumi Arakan secara sadis.
Kekerasan yang terjadi antara warga Negara Bagian Arakan dan warga Rohingya menelan korban sekira 80 orang. Peristiwa yang terjadi pada Juni lalu itu menuai kecaman dari sejumlah aktivis HAM dan beberapa negara Islam.
Human Right Watch mengklaim adanya pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Pemerintah Myanmar terhadap warga Rohingya. Namun Presiden Sein membantah laporan tersebut.
Sein yakin, kekerasan yang terjadi di Arakan tak luput dari campur tangan para pemuka agama, dan politisi ternama di wilayah itu. Pemerintah Myanmar sempat mengatakan bahwa mereka justru menjadi pihak yang mengulurkan tangan ke warga Rohingya.
Sejauh ini, warga Rohingya yang tinggal di Arakan dinobatkan sebagai salah satu etnis minoritas yang paling terdiskriminasi di dunia. Mereka tidak memiliki identitas dan kewarganegaraan, mereka pun hidup dalam pelarian.
Rohingya yang terus terdiskriminasi itu melarikan diri ke negara-negara tetangga Myanmar seperti halnya Bangladesh dan beberapa negara ASEAN lainnya. Namun tak jarang mereka ditolak masuk karena sejumlah alasan.(AUL)
Para pemuka agama yang mengenakan jubah yang berwarna merah itu berbaris dan melakukan marching di Kota Mandalay. Peristiwa itu menjadi peristiwa yang cukup mengejutkan. Demonstrasi besar itu digelar pada Minggu kemarin dan akan dilanjutkan selama dua hari di Kota Pakokku.
"Lindungi Ibu Kita, Myanmar, dengan mendukung Presiden," demikian tulisan yang terpampang dalam salah satu spanduk yang dibawa oleh pemuka agama di Myanmar. Beberapa orang demonstran juga mengkritisi utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dinilai bias dalam menyikapi warga Rohingya.
Protes itu dipimpin oleh seorang pemuka agama yang bernama Wirathu. Wirathu pun mengklaim, 5 ribu pemuka agama Budha lainnya siap bergabung dalam aksi tersebut. Sementara itu, ratusan lainnya mengawasi jalanan.
"Biarkan dunia tahu bahwa Rohingya bukanlah salah satu dari kelompok etnis Myanmar," ujar Wirathu, seperti dikutip AFP, Senin (3/9/2012).
Namun Wirathu menambahkan, warga Rohingya boleh menjadi warga negara Myanmar asalkan mereka tidak membuat kerusuhan dan menjadi warga yang baik. Pria berusia 45 tahun itu menegaskan kembali dukungannya terhadap kebijakan yang diusung Thein Sein.
Salah satu orang demonstran yang tidak mau disebut identitasnya, turut mengecam warga Rohingya. Warga Rohingya dianggap bak kelompok teroris Benggala yang sering membunuh warga pribumi Arakan secara sadis.
Kekerasan yang terjadi antara warga Negara Bagian Arakan dan warga Rohingya menelan korban sekira 80 orang. Peristiwa yang terjadi pada Juni lalu itu menuai kecaman dari sejumlah aktivis HAM dan beberapa negara Islam.
Human Right Watch mengklaim adanya pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Pemerintah Myanmar terhadap warga Rohingya. Namun Presiden Sein membantah laporan tersebut.
Sein yakin, kekerasan yang terjadi di Arakan tak luput dari campur tangan para pemuka agama, dan politisi ternama di wilayah itu. Pemerintah Myanmar sempat mengatakan bahwa mereka justru menjadi pihak yang mengulurkan tangan ke warga Rohingya.
Sejauh ini, warga Rohingya yang tinggal di Arakan dinobatkan sebagai salah satu etnis minoritas yang paling terdiskriminasi di dunia. Mereka tidak memiliki identitas dan kewarganegaraan, mereka pun hidup dalam pelarian.
Rohingya yang terus terdiskriminasi itu melarikan diri ke negara-negara tetangga Myanmar seperti halnya Bangladesh dan beberapa negara ASEAN lainnya. Namun tak jarang mereka ditolak masuk karena sejumlah alasan.(AUL)
No comments:
Post a Comment